Sate Matang


Ada satu wisata yang lagi hangat dibicarakan media TV akhir-akhir ini, yaitu wisata kuliner. Wisata murah meriah yang tidak menghabis banyak uang untuk sewa hotel, atau tempat-tempat penginapan walau sebagian wisata itu disajikan oleh hotel berbintang nan mewah. Wisata ini murah mudah apalagi ini berkenaan dengan selera makan. Semua lapisan ma­syarakat bisa menikmati, karena itu pula wisata ini jadi hangat dibicarakan akhir akhir ini.

Kali ini saya menceritakan tentang ‘sate matang’ yang terkenal itu. Sate matang di sini bukan sate yang dibakar sampai ‘matang’, tapi sate dari daerah Matangglumpangdua, Kabupaten Bireuen. Matangglumpangdua atau lebih sering diucap Matang, biar mudah dan sedap didengar sebagaimana rasanya, terletak 12 Km arah timur pusat Kota Bireuen. Perjalanan ke sana memakan waktu 15 menit, apalagi sekarang lalu lintasnya sudah lebar dan mulus.

Matang memang kota yang sangat strategis dan selalu ramai di malam hari. Pada waktu konflik bercekamuk, Kota Matang tak pernah sepi, karena itu mungkin Matang sering dijuluki kota yang tak pernah mati. Soal kuliner, Matang sangat terkenal dengan sate tusuk, mau daging sapi atau sate kambing juga ada. Bagi yang menderita darah tinggi, saya sarankan mencoba sate daging sapi deh. Siapa tau satelah mencicipi lezatnya daging kambing bakar sesaat, Anda harus berbaring di rumah sakit.

Sate Matang sudah bergema di setiap kota di seluruh Aceh, Medan bahkan Jakarta. Di mana ada masyarakat Aceh bermukim di kota-kota besar di Indonesia, pasti ada Gerobak sate Matang.

Hmm… ngak sabaran nie pingin menguyah sate. Soalnya, saya sudah lama tidak memanjakan lidah dengan sate Matang. Kalau lama-lama dipendam ngilernya minta apun, bisa-bisa ngences. Memang untuk menikmati sedapnya sate matang yang betul-bettul olahan dan bumbu dari Matang, saya mesti pergi ke Matangglumpangdua. Di Banda Aceh, banyak gerobak-gerobak yang menempelkan stiker “Sate Matang”, tapi rasanya ingin makan lebih meunyeum di Matang.

Untuk melepas rasa ngiler sate matang, saya biasa mangkal di Café Niagara, Jambo Tape. Sate olahan orang Matang juga tapi bumbu Banda Aceh, memberikan rasa yang berbeda. Dia pun menjadi tempat alternatife saya melepaskan rasa rindu sate. Bukan hanya saya, Ketua MPR RI, Hidayat Nur Wahid, Mantan Ketua DPR RI, Akbar Tandjung dan tokoh-tojoh lain pada kesempatan kunjugan ke Banda Aceh, mencoba sate Matang di sini, jadi tak salah kalau sate matang itu sangat lezat, dan terkenal seantero nusantara.

Akhirnya, pada mudik lebaran kemarin, saya, mitra kerja saya, Ucup dan ditemani Feri teman lama kami di kampong melapaskan rasa kepingin makan sate Matang yang sudah lama terpendam. Sabtu malam yang masih dalam suasana lebaran, kami menrerobos warung Siang Malam yang di dipenuhi pelanggan dari berbagai kalangan, di pusat kota Matang itu.

Suara bantingan botol kecap pada meja terdengar memanggil, seraya asap bakaran sate yang mengepul dari tungku berbara menyala makin sedap aja rasanya, dan perlahan saya berjalan masuk bedesakan dengan orang-orang yang singgah untuk makan malam setelah menenpuh rute Banda Aceh-Medan.

Kami pun memesan tiga porsi untuk kami bertiga. Satu porsi, berisi satu piring nasi, satu piring sate, satu piring bumbu kacang dan satu piring soto. Satenya besar-besar, sebesar ibu jari, satu tusukan berisi empat daging sapi cincang. Soal rasa, hhmmm lezat minta ampun, apalagi bumbu kacangnya sangat terasa dilidah, pokonya meunyeum that deh.

Setelah, merasakan kenyang dan puas, kami hanya merogoh koceh Rp59000 untuk tiga porsi dan teman-teman minumnya, teh setengah panas dan teh botol.

Sebelumnya, Ucup penah bilang, “Nyoe wate wou u gampong, beumeutemung kap sate Matang, Menyoe nyang di Banda goh lom puwah teuh, sate pih ubit, yum pih meuhai that, brat bak ta kap,”. Akhirnya, kesempatan itu jadi kan Cup? Bagaimana dengan Anda, sampai jumpa lagi Minggu depan, di rubrik yang sama. Anda bisa juga mengirimkan pengalaman kuliner Anda di setiap kampong Aceh. Dan kolom ini memang khusus untuk wisata kuliner Aceh. Semoga wisata yang murah meriah ini dan tidak repot menambah khazanah budaya Aceh dalam melestarikan ‘selera’ makan. Hehehe.. Maksudnya, budaya kuliner Aceh

No comments:

Post a Comment