Wisata lumpur di Sidoarjo


Kami, penduduk Kabupaten Sidoarjo, sudah jenuh dengan lumpur lapindo. Semburan yang bermula pada 29 Mei 2006 itu boleh dikata mustahil ditutup. Pemerintah sudah kehilangan akal. Kita hanya tinggal berdoa dan pasrah kepada Tuhan.

Sekitar 20.000 korban lumpur asal Desa Siring, Jatirejo, Kedungbendo, Renokenongo, Perumahan Tanggulangin Anggun Sejahtera I, kemudian Ketapan, Mindi dan beberapa bagian desa lain sudah tak berdaya. Pikiran mereka sederhana saja: ganti rugi atas rumah dan lahan mereka harus segera dibayar. Uang muka 20 persen rata-rata sudah diterima, tinggal sisa 80 persen.

"Saya nggak percaya semburan di sini akan berhenti," ujar Ahmad, warga Siring, Kecamatan Porong.

"Katanya 31 tahun akan berhenti?" pancing saya saat jalan-jalan ke kawasan lumpur lapindo, Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, Minggu [21 Oktober 2007].

"Wah, saya nggak percaya sama sekali. Kalau melihat volume semburan yang stabil, kami nggak percaya. Saya kok yakin lumpur itu akan menyembur seterusnya. Kita hanya bisa serahkan kepada Allah," ujar penjual VCD bencana lumpur lapindo ini.


Saya melihat kondisi lumpur lapindo di Porong dan Tanggulangin kian mengerikan. Tanda-tanda kehidupan tak ada lagi. Semua tanaman mati. Rumah-rumah terendam hingga ke bubungan, bahkan lebih. Pabrik tempat mendiang Marsinah [pahlawan buruh] bekerja, PT Catur Putra Surya, yang bikin arloji di Desa Siring, sudah tak terlihat lagi. Yang ada hanya kolam air bercampur lumpur, tanggul dari pasir-batu, serta kegiatan pekerja BPLS [Badan Penanggulangan Lumpur Sidoarjo].

Cerita tanggul jebol menjadi hal biasa. Padahal, dampaknya akan sangat mengerikan manakala tanggul jebol terus-menerus. Bisa menenggelamkan kampung-kampung yang belum masuk peta terdampak lumpur. Dan itu berarti masalah baru karena Lapindo Brantas Inc. menyatakan hanya mau membayar kompensasi untuk kawasan di dalam peta terdampak.

Jika benar lumpur meluber konstan sampai 30 tahun, bagaimana nasib desa-desa sekitar yang masih bertahan? Permisan? Mindi? Glagaharum? Kawasan tambak di Kecamatan Jabon? Saya yakin, jika penanganan lumpur seperti sekarang, tak sampai 30 tahun desa-desa lama itu bakal tinggal sejarah. Sama lah dengan Siring, Jatirejo, Kedungbendo, dan Renokenongo yang telah hilang dari peta Sidoarjo.

Di balik tragedi dahsyat ini, sejumlah korban lumpur, khususnya asal Jatirejo dan Siring, memanfaatkan untuk sekadar mendapat tambahan dana. Mereka bikin wisata lumpur. Klop, karena banyak orang [dari berbagai daerah di tanah air] ingin melihat dari dekat semburan lumpur itu. Musim libur Lebaran kemarin pengunjung membeludak.

"Lumayan ada rezeki. Sekarang warga sudah tersebar ke mana-mana, banyak yang nggak punya pekerjaan. Terpaksa begini, Bang," kata Tarmizi, warga Jatirejo [Porong]. Ia pemandu wisata saya meski sebenarnya sudah tahu banyak cerita di balik tenggelamnya desa-desa di sekitar Sumur Banjarpanji I milik Lapindo Brantas Inc.

Wisata di lokasi bencana sedahsyat di Porong? Istilah 'wisata' jelas tidak pas karena di sini para pengunjung tidak beroleh kelegaan rohani. Orang datang lebih karena ingin bersimpati, merasakan langsung betapa ribuan manusia terusir gara-gara kesalahan fatal di lokasi tambang gas bumi. Tapi tidak apa-apa. Koran-koran di Surabaya memang menyebut lokasi seluas 400 hektare lebih itu sebagai kawasan wisata lumpur.

Hampir setiap akhir pekan saya mampir di lokasi semburan lumpur ini. Saat anda tiba, banyak tukang parkir menyambut kendaraan anda. Sekali parkir Rp 2.000. Parkir mobil Rp 5.000. Naik ke atas tanggul bayar lagi Rp 2.000. Tidak pakai tanda terima apa pun. Beberapa laki-laki sibuk 'bancakan' uang dari pengunjung.

Saya heran, objek wisata kok liar begini? Kenapa Pemerintah Kabupaten Sidoarjo, BPLS, atau Kecamatan Porong dan Tanggulangin tidak menatanya? Akuntabilitasnya bagaimana? Apa ada jaminan uang dari pengunjung [ratusan orang per hari, bahkan ribuan] jatuh ke tangan yang tepat? Dikelola untuk korban lumpur?

Di atas tanggul, kita seakan berada di padang gurun yang tandus. Bau busuk khas lumpur. Retakan lumpur kering. Kolam penampung air berlumpur. Alat-alat berat milik BPLS. Ribuan rumah yang tenggelam. Laki-laki menyelam untuk bongkar bahan bangunan yang masih layak pakai. Puluhan tukang ojek. Penjual VCD lumpur. Penjual es atau makanan kecil. Sangat meriah layaknya tempat wisata terkenal.

Jalan kaki ke dekat pusat semburan, Desa Renokenongo, jelas melelahkan. Juga sangat panas karena semua tanaman di lahan 400 hektare lebih [ada koran menulis 500 hektare] sudah mati. Mau tak mau kita memakai jasa tukang ojek. "Pulang pergi Rp 10.000," kata Tarmizi, pemandu wisata, tukang ojek, sekaligus penjual VCD.

Saya geleng-geleng kepala, tapi terpaksa menuruti 'kebijakan' Tarmizi dan kawan-kawan. "Kok gampang banget cari uang ya? Di balik bencana ada saja tangan-tangan yang beroleh rezeki," pikir saya.

Tiba di garis batas BPLS, pengunjung tak boleh beranjak lebih jauh, saya melihat 50-an turis lokal di sana. Melihat semburan lumpur berbalut asap putih tebal yang tak pernah berhenti. Juga sejumlah pekerja mengoperasikan alat berat untuk memperkuat lokasi sekitar semburan.

"Kalau mau sampai ke dekat semburan, ya, bayar Rp 50.000. Tapi sekarang dilarang karena dianggap sangat berbahaya. Apalagi, tanggul baru saja jebol beberapa kali," jelas Tarmizi.

Dia juga mengingatkan bahwa pada 22 November 2006 pipa gas milik Pertamina meledak, sehingga belasan orang terkubur hidup-hidup. Ah, siapa yang mau mati konyol di sana? Penjelasan Tarmizi ini kontan membuat pengunjung kehilangan minat jalan-jalan ke dekat pusat semburan.

Saat pulang, Tarmizi menawarkan VCD seharga Rp 15.000 sampai Rp 20.000 per keping kepada saya. Menurut dia, VCD itu mengambarkan situasi bencana lumpur lapindo yang telah menimbulkan korban 20.000 orang lebih, berikut dampak sosial, kerusakan jalan raya, rel kereta api, dan sebagainya.

"Yang buat VCD ini teman-teman wartawan. Kalau anda beli berarti anda ikut menyumbang korban lumpur. Yah, buat kenang-kenangan setelah wisata ke sini," kata Tarmizi dengan rayuan khasnya. Saya tidak membeli karena sudah lama mengoleksi VCD lumpur lapindo.

Saya pastikan, Minggu [21/10] siang, ratusan turis berasal dari berbagai daerah di Indonesia. Lihat saja mobil-mobil berplat nomor Jakarta, Bandung, Jogja, Semarang, Denpasar, bahkan luar Jawa. Jangan tanya plat nomor Jawa Timur yang pasti paling banyak: L [Surabaya], W [Sidoarjo], P [Jember], N [Malang], AE [Madiun]. Logat bicara pengunjung pun macam-macam.

"Yang dari manca negara juga banyak, Bang," kata Tarmizi. "Pokoknya ramai terus, nggak peduli Lebaran atau bukan. Orang kan ingin melihat langsung semburan lumpur di Porong itu kayak apa. Kalau sekadar lihat di televisi kan nggak puas."

Fenny bersama keluarga, asal Semarang, menyempatkan diri berkunjung ke lokasi bencana lapindo. Hampir satu jam mereka jalan-jalan, foto bersama, ambil gambar. Gunawan [Jakarta] pun sama. "Saya memang niat ke sini kalau kebetulan ada waktu ke Jawa Timur. Ternyata, bencana ini benar-benar dahsyat," ujar Gunawan.

Ya... benar-benar dahsyat!

No comments:

Post a Comment